Dodol

Bicara makanan Indonesia adalah bicara tentang sejarah, tentang mitos, tentang tradisi masyarakat, tentang cerita-cerita leluhur. Alhasil, selain soal rasa yang diwariskan, terkandung pula nilai-nilai kearifan lokal bagi generasi setelahnya untuk dimaknai.

Banyak sebutan yang identik dengan dodol, seperti Nian Gao atau Kue Keranjang, Wajit, Jenang, Lempok, Gelinak, dan beragam nama lain di berbagai daerah di Indonesia. 

Pada proses pembuatannya tersirat makna filosofis yang menggambarkan kebersamaan dan keberagaman. Dodol, bagi masyarakat Betawi di Jakarta yang dulu bernama Batavia adalah makanan perayaan. Betawi yang dulu merupakan pencampuran berbagai kelompok etnis Sunda, Arab, Tionghoa, dan Melayu memiliki budaya, bahasa dan tradisi yang berbeda satu sama lain.

Melalui dodol yang dibuat dalam proses yang lama dan dikerjakan bersama-sama, semangat gotong royong sangat diperlukan. Pembuatan dodok biasanya melibatkan beberapa keluarga.


Ada pula pembagian tugas di dalamnya. Di mana para laki-laki bertugas mengaduk adonan dodol, yang prosesnya dapat memakan waktu hingga 10 jam, hingga warnanya berubah menjadi cokelat keemasan. Sedangkan para perempuan, bertugas menyiapkan bahan-bahan.

Sedangkan bagi masyarakat di Garut, dodol telah menjadi simbol buah tangan khas. Beberapa merek bahkan sudah memiliki nama yang legendaris. Dodol bagi Garut telah menjadi ikon kota yang mengangkat nama dan ekonomi masyarakat. 

Dalam budaya orang-orang Tionghoa, dodol yang dikenal dengan nama Kue Keranjang menjadi ciri khas dalam perayaan tahun baru imlek. Ada keyakinan bagi mereka, kue keranjang akan membawa keberuntungan jika dapat disusun tinggi.

Semakin tinggi kue keranjang yang disusun semakin banyak memperoleh keberuntungan. Pada prosesnya, ada perubahan jika dulu dodol disimpan dalam cetakan berbentuk keranjang dari bambu yang kemudian itu menjadi identitas namanya, pada era sekarang dodol lebih banyak menggunakan bahan plastik untuk mengemasnya. 

Lain hal bagi masyarakat Jawa. Di kalangan masyarakat jawa, dodol dikenall dengan sebutan Jenang. Penganan jenang telah dikenal sejak zaman kerajaan Hindu-Buddha. Itulah sebabnya, eksistensi jenang melekat di berbagai upacara adat, baik itu hajatan pernikahan, perayaan kelahiran anak, bahkan upacara kematian.

Bagi mereka, jenang menjadi simbol ucapan doa dan harapan masyarakt Jawa. Ada yang unik dari dodolnya di masyarakat Jawa, bahwa di setiap upacara adat,  ada kekhasan jenang yang disajikan. Sebut saja pada tradisi perayaan kehamilan bulan ketujuh, yang disajkan adalah jenis Jenang Procotan.

Lain hal, dalam tradisi perayaan peringatan Satu Suro, biasanya jenis Jenang Abang yang dihidangkan.Jenang ini berwarna putih yang dicampur dengan gula merah dan parutan kelapa. Masyarakat Jawa menganggap jenang ini memiliki simbol rasa syukur kepada Tuhan menghadapi tahun baru dan sebagai ungkapan doa penyerahan diri untuk keselamatan dan keberkahan. 

itulah sebabnya, kendati kini dodol acap berada dalam balutan kemasan dan cita rasa yang jauh lebih moderen dan variatif, nilai-nilai luhur tidak dapat dilepaskan.

Pasalnya, nilai-nilai itu mengajarkan banyak hal tentang nasionalisme dalam keberagaman Indonesia, gotong royong, bahkan juga pentingnya menjaga persatuan.